BAB I
MUDHARABAH
1. Definisi Mudharabah
Mudharabah diambil dari kata فِي الآَرْضِالضَرْبُ yangg
artinya “لِلتَّجَارَةِالسَّفَرُ” yakni
melakukan perjalanan untuk berdagang. Dalam al-Qur’an surat al-Muzammil:20
disebutkan:
...وَءَاخَرُونَ
يَضْرِبُونَ فِى الآَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنء فَضْلِ اللهِ...
Artinya:
“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah
swt”.
Mudharabah adalah suatu akad atau perjanjian antara dua
orang atau lebih, dimana pihak pertama memberikan modal usaha, sedangkan pihak
lain menyediakan tenaga dan keahlian dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi
diantara mereka sesuai dengan kesepakatan yang mereka tetapkan bersama.
Dalam
mudharabah ada unsur syirkah atau kerja sama, hanya saja bukan kerja sama
antara harta dengan harta atau tenaga dengan tenaga, melainkan antara harta
dengan tenaga. Disamping itu, juga terdapat unsur syirkah (kepemilikan bersama)
dalam keuntungan. Namun, apabila terjadi kerugian maka kerugian tersebut
ditanggung oleh pemilik modal, sedangkan pengelola tidak dibebani kerugian
karena ia telah rugi tenaga tanpa keuntungan.
2. Dasar Hukum Mudharabah
Para ulama mazhab sepakat bahwa
mudharabah hukumnya dibolehkan berdasarkan al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas.
Adapun dalil dari al-Qur’an surat al-Muzammil:20 yang berbunyi:
...وَءَاخَرُونَ
يَضْرِبُونَ فِى الآَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنء فَضْلِ اللهِ...
Artinya:“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah swt”.
Sedangkan dari sunnah, hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Malik:
عنِ الْعَلاَءِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ عن أبِيهِ عن جَدِّهِ:أَنَّ عُثْمَا نَ بْنَ عَفَّا ن أَعْطَا هُ مَا
لاً قِرَاضًا يَعْمَلُ فِيْهِ عَلَى أَنَّ الرِّبْحَ بَيْنَهُمَا
Artinya:“Dari ‘Ala’ bin Adurrahman dari
ayahnya dari kakeknya bahwa Utsman bin Affan memberinya harta dengan cara
qiradh yang dikelolanya dengan ketentuan keuntungan dibagi diantara mereka
berdua”. (HR. Imam Malik)
Dari ayat al-Qur’an dan hadis tersebut
jelaslah bahwa mudharabah (qiradh) merupakan akad yang dibolehkan. Hadis diatas
dijelaskan tentang praktik mudharabah oleh Utsam sebagai pemilik modal dengan
pihak lain sebagai pengelola.
Adapun dalil dari ijma’, pada zaman
sahabat sendiri banyak para sahabat yang melakukan akad mudharabah dengan cara
memberikan harta anak yatim sebagai modal kepada pihak lain, seperti Umar,
Utsman, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amir, dan
Siti Aisyah. Dan tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa para sahabat yang lain
mengingkarinya. Oleh karena itu, hal ini dapat disebut ijma’.
Sedangkan dalil dari qiyas adalah bahwa
mudharabah di-qiyas-kan kepada akad musaqah, karena sangat dibutuhkan oleh
masyarakat. Hal tersebut dikarenakan dalam realita kehidupan sehari-hari, ada
yang kaya dan ada yang miskin. Kadang-kadang ada orang kaya yang memiliki
harta, tetapi ia tidak memiliki keahlian untuk berdagang, sedangkan dipihak
lain ada orang yang memiliki keahlian bardagang, tetapi iatidak memiliki harta
(modal). Dengan adanya kerja sama antara kedua belah pihak tersebut, maka kebutuhan
masing-masing bisa dipadukan, sehingga menghasilkan keuntungan.
Hukum mudharabah ada 2, yaitu:
a. Mudharabah fasid
Apabila syarat-syarat yang tidak
selaras dengan tujuan mudharabah maka menurut Hanafiah, Syafi’iyah, Hanabilah
mudharib tidah berhak memperoleh biaya operasional dan keuntungan yang tertentu
melainkan ia hanya memperoleh upahyang sepadan atas hasil pekerjaannya, baik
kegiatan mudharabah tersebutmemperoleh keuntungan atau tidak.
Ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa
mudharib dalam semua hukum mudharabah yangfasid dikembalikan kepada qiradh yang
sepadan dalam keuntungan, kerugian, dan lain-lain dalam hal-hal yang bisa
dihitung dan ia berhak atas upah yang sepadan dengan perbuatan yang
dilakukannya.
Beberapa hal yang menyebabkan dikembalikannya mudharabah
yang fasid kepada qiradh mitsl (qiradh yang sepadan), yaitu:
1. Qiradh
dengan modal barang bukan uang.
2. Keadaan
keuntungan yang tidak jelas.
3. Pembatasan
qiradh dengan waktu, seperti 1 tahun.
4. Menyandarkan
qiradh kepada masa yang akan datang.
5. Mensyaratkan
agar pengelola mengganti modal apabila hilang atau rusak tanpa sengaja.
b. Mudharabah Shahih
Mudharabah yang shahih adalah suatu
akad mudharabah yang rukun dan syaratnya terpenuhi. Pembahasan mengenai
mudharabah yang shahih ini meliputi beberapa hal, yaitu:
1. Kekuasaan mudharib.
2. Pekerjaan dan
kegiatan mudharib.
3. Hak mudharib.
4. Hak pemilik modal.
3. Rukun Mudharabah
Rukun akad mudharabah menurut Hanafiah
adalah ijab dan qabul, dengan menggunakan lafal yang menunjukan kepada arti
mudharabah. Lafal yang digunakan untuk ijab adalah lafal mudharabah, muqharadah
dan mu’amalah atau lafal-lafal lainyang artinya sama dengan lafal-lafal
tersebut.
Pemilik modal mengatakan: “Ambilah modal ini
dengan mudharabah, dengan ketentuan keuntungan yang diperoleh dibagi diantara
kita berdua dengan nisbah setengah, seperempat atau sepertiga”.
Adapun lafal qabul yang digunakan oleh ‘amil mudharib
(pengelola) adalah lafal: saya ambil (أَخَذْتُ ), atau saya terima (قَبِلْتُ ) dan semacamnya. Apabila ijab dan qabul terpenuhi maka
akad mudharabah telah sah.Menurut jumhur ulama’, rukun mudharabah ada 3 yaitu:
a. Aqid, yaitu
pemilik modal dan pengelola.
b. Ma’qud ‘alaih,
yaitu modal tenaga (pekerja) dan keuntungan.
c. Shighat,
yaitu ijab dan qabul.
Sedangkan Syafi’iyah menyatakan bahwa rukun mudharabah ada 5 yaitu:
a. Modal.
b. Tenaga (pekerjaan).
c. Keuntungan.
d. Shighat.
e. ‘Aqidain.
4. Syarat dan Macam Mudharabah
a. Syarat-syarat mudharabah
Beberapa syarat yang harus dipenuhi
agar mudharabah sah yang berkaitan dengan ‘aqid, modal dan keuntungan.
1) Syarat yang berkaitan dengan ‘aqid
Adalah bahwa ‘aqid, baik pemilik modal
maupun pengelola harus orang yang memiliki kecakapan untuk memberikan kuasa dan
melaksanakan wakalah.
2) Syarat yang berkaitan dengan modal
Syarat-syarat yang berkaitan dengan modal adalah sebagai berikut:
a. Modal harus
berupa uang tunai, seperti dinar, dirham, rupiah, dolar dan lain sebagainya,
b. Modal harus jelas
dan diketahui ukurannya, apabila modal tidak jelas maka mudharabah tidak sah.
c. Modal harus ada
dan tidak boleh berupa hutang, tetapi tidak berarti harus ada di majlis akad.
d. Modal harus
diserahkan kepada pengelola, agar dapat digunakan untuk kegiatan usaha. Hal ini
dikarenakan modal tersebut merupakan amanah yang berada ditangan pengelola.
Syarat ini disepakati oleh jumhur ulama’.
3) Syarat yang berkaitan tentang keuntungan
Antara lain sebagai berikut:
a. Keuntungan
harus diketahui kadarnya.
b. Keuuntungan
harus merupakan bagian yang dimiliki bersama dengan pembagian secara nisbah.
a. Macam-macam
mudharabah
Mudharabah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu:
a. Mudharabah
mutlaq, yaitu akad mudharabah dimana pemilik modal memberikan modal kepada
‘amil tanpa disertai dengan pembatasan.
b. Mudharabah
muqayyad, yaitu suatu akad mudharabah dimana pemilik modal memberikan ketentuan
atau batasan yang berkaitan dengan tempat kegiatan usaha, jenis usaha,
barang yang menjadi objek usaha, waktu dan dari siapa
barangg itu dibeli.
b. Hal-hal
yang Membatalkan Mudharabah
Mudharabah dapat batal karena beberapa hal, yaitu:
a. Pembatalan,
larangan tasarruf dan pemecatan.
b. Meninggalnya
salah satu pihak.
c. Salah satu
pihak terserang penyakit gila.
d. Pemilik modal
murtad.
e. Harta mudharabah
rusak ditangan mudhorib.
BAB
II
MURABAHAH
A. Pengertian Murabahah
Murabahah
adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan
keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.Pembayaran atas
akad jual beli dapat dilakukan secara tunai maupun kredit. Hal yang membedakan
murabahah dengan jual beli lainnya adalah penjual harus memberitahukan kepada
pembeli harga barang pokok yang dijualnya serta jumlah keuntungan yang
diperoleh.
Penjualan
dapat dilakukan secara tunai atau kredit , jika secara kredit harus dipisahkan
antara keuntungan dan harga perolehan .Keuntungan tidak boleh berubah sepanjang
akad , kalau terjadi kesulitan bayar dapat dilakukan restrukturisasi dan kalau
kesulitan bayar karma lalai dapat dikenakan denda. Denda tersebut akan dianggap
sebagai dana kebajikan . Uang muka juga dapat diterima , tetapi harus dianggap
sebagai pengurang piutang.[11]
B. Jenis Murabahah
a. Murabahah
Berdasarkan Pesanan (Murabahah to the purcase order)
Murabahah
ini dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat. Mengikat bahwa apabila
telah memesan barang harus dibeli sedangkan tidak mengikat bahwa walaupun telah
memesan barang tetapi pembeli tersebut tidak terikat maka pembeli dapat
menerima atau membatalkan barang tersebut .
b. Murabahah Tanpa Pesanan
Murabahah
ini termasuk jenis murabahah yang bersifat tidak mengikat. Murabahah ini
dilakukan tidak melihat ada yang pesan atau tidak sehingga penyediaan barang
dilakukan sendiri oleh penjual.[12]
C. Rukun dan Syarat Murabahah
1. Pengertian
Rukun Murabahah
Rukun
adalah suatu elemen yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kegiatan atau
lembaga, sehingga bila tidak ada salah satu elemen tersebut maka kegiatan
terdebut dinyatakan tidak sah atau lembaga tersebut tidak eksis.[13]
Menurut
Jumhur Ulama ada 4 rukun dalam murabahah, yaitu Orang yang menjual(Ba'I'),orang
yang membeli(Musytari),Sighat dan barang atau sesuatu yang
diakadkan.[14]
2. Syarat
Murabahah
1. Pihak
yang berakad,yaitu Ba'i' dan Musytari harus cakap hukum atau balik (dewasa),
dan mereka saling meridhai (rela)
2. Khusus
untuk Mabi' persyaratanya adalah harus jelas dari segi sifat jumlah, jenis yang
akan ditransaksikan dan juga tidak termasuk dalam kategori barang haram.
3. Harga
dan keuntungan harus disebutkan begitu pula system pembayarannya, semuanya ini
dinyatakan didepan sebelum akad resmi (ijab qabul) dinyatakan tertulis.[15]
D. Dasar
hukum Murabahah
Dalam islam,perdagangan dan perniagaan selalu
dihubungkan dengan nilai-nilai moral,sehingga semua transaksi bisnis yang
bertentangan dengan kebajikan tidaklah bersifat islami.[16]
· Al-Qur'an[17]
"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling
memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar),
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka rela diantaramu. . . .
." (QS.4:29)
"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba" (QS.2:275)
· Al-Hadist
Dari Abu Sa'id Al-Khudri , bahwa Rasullulah
Saw bersabda: "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama
suka".(HR.al-Baihaqi,Ibnu Majah dan Shahi menurut Ibnu Hibban)
E. Ketentuan
Umum Murabahah
1. Jual
beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki atau hak
kepemilikan telah berada ditangan penjual.
2. Adanya
kejelasan informasi mengenai besarnya modal (harga pembeli) dan biaya-biaya
lain yang lazim dikeluarkan dalam jual beli..
3. Ada informasi yang jelas tentang hubungan baik
nominal maupun presentase sehingga diketahui oleh pembeli sebagai salah satu
syarat sah murabahah
4. Dalam
system murabahah, penjual boleh menetapkan syarat kepada pembeli untuk menjamin
kerusakan yang tidak tampak pada barang, tetapi lebih baik syarat seperti itu
tidak ditetapkan.
5. Transaksi
pertama (anatara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah, jika tidak sah maka
tidak boleh jual beli secara murabahah (anatara pembeli pertama yang menjadi
penjual kedua dengan pembeli murabahah.[18]
F. Aplikasi Murabahah di LKS (Lembaga
Keuangan Syariah)
1. Pengertian
dan makna
Dalam
daftar istilah himpunan fatwa DSN (dewan syariah nasional) dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan
harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih
sebagai laba.
Murabahah
merupakan bagian terpenting dari jual beli dan prinsip akad ini mendominasi
pendapatan bank dari produk-produk yang ada di semua bank islam. Dalam islam,
jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia yang
diridhai oleh Allah SWT. "Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba" (QS. Al-baqarah :275).[19]
2. Rukun
dan syarat
Rukun
murabahah dalam perbankan adalah sama dengan fiqih dan hanya dianalogikan dalam
pratek perbankannya.
Mengenai
syarat yang diminta oleh bank adalah sesuai dengan kebijakan bank syariah yang
bersangkutan.umumnya persyaratan tersebut menyangkut tentang barang yang
diperjual belikan, harga dan ijab qobul (akad). Rasulallah SAW. Bersabda:
"kaum muslimin boleh melangsungkan sesuatu berdasarkan ketentuan yang
mereka tetapkan". (HR. Abu daud & Hakim)
3. Harga
dan Keuntungan
1. Bank
menjual harga barang sesuai harga pokok yang dibeli dari pemasok ditambah
dengan keuntungannya yang disepakati bersama .
2. Selama
akad belum berakhir, maka harga jual beli tidak boleh berubah.
3. System
pembayaran dan jangka waktunya yang disepakati bersama. [20]
BAB III
MUSYAROKAH
A. MUSYAROKAH
1. Pengertian
Musyarokah menurut bahasa berarti al-ikhtilah yang
artinya campur atau percampuran. Percampuran disini adalah seseorang yang
mencampurkan hartanya dengan harta orang lain, sehingga sulit untuk
membedakannya.
Sedangkan menurut istilah adalah kerja sama antara dua
orang atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung
bersama.
2. Dasar Hukum Al Musyarakah
“ … maka mereka
berserikat pada sepertiga ….” (An-Nisaa’ : 12)
“… Dan
Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka
berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh.” (Shaad : 24)
Kedua ayat tersebut diatas menunjukkan perkenan dan pengakuan Allah SWT
akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta.
Al-Hadits:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW. bersabda, ” Sesungguhnya Allah Azza wa
Jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah
satunya tidak menghianati yang lainnya.” (HR Abu Dawud no 2936, dalam kitab
al-Buyu, dan Hakim)
Ijma:
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni telah berkata, ‘Kaum muslimin telah
berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat
perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.
3. Rukun dan Syarat Musyarakah
Rukun Musyarokah antara lain :
a. Ijab-kabul (sighah) adalah
adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang bertransakasi.
b. Dua pihak yang berakad (‘aqidani) dan
memiliki kecakapan melakukan pengelolaan harta
c. Objek aqad (mahal) yang disebut
juga ma’qud alaihi, yang mencakup modal atau pekerjaan
d. Nisbah bagi hasil
Syarat Musyarokah menurut Hanafiah :
a. Sesuatu
yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta maupun yang
lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu:
Ø Yang berkenaan
dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai perwakilan.
Ø Yang berkenaan
dengan keuntungan yaitu pembagian keuntungan yang jelas dan diketahui orang
pihak-pihak yang bersyirkah.
b. Sesuatu yang
bertalian dengan syirkah mal (harta) dalam hal ini terdapat dua perkara yang
harus dipenuhi yaitu:
Ø Bahwa modal
yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran (nuqud).
Ø Yang dijadikan
modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah dilakukan.
Syarat Musyarokah menurut Malikiyah :
a. Merdeka
b. Baligh
c. Pintar
4. Macam-macam Musyarokah
Musyarakah ada dua jenis, yaitu:
a. musyarakah
pemilikan (Syirkah al-milk atau syirkah amlak)
adalah kepemilikan bersama kedua pihak atau lebih dari sebuah properti.
Misalnya karena wasiat, hibah, warisan dan lainnya; dan
b. musyarakah
akad (syirkah al-‘aqd atau syirkah ‘ukud)
adalah kemitraan yang terjadi karena adanya kontrak bersama, atau usaha
komersial bersama. Musyarakah akad ini terbagi lagi menjadi :
1) Syirkah al-‘inan
Kontrak kerja sama antara dua pihak atau lebih dengan
sama-sama memberikan andil dalam modal dan kerja namun tidak harus sama
porsinya. Keuntungan dan kerugian ditanggung bersama sesuai kesepakatan yang
telah ditentukan.
2) Syirkah mufawadhah
Kontrak kerja sama antara dua pihak atau lebih dengan
kesamaan dalam penyertaan modal, pengelolaan, kerja, dan pembagian keuntungan.
3) Syirkah al-a’maal
Kontrak kerja sama antara dua pihak atau lebih dengan
sama-sama ambil bagian dalam melayani atau memberikan jasa pada pelanggan.
4) Syirkah al-wujuh
Kontrak kerja sama antara du pihak atau lebih yang
memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis dimana
masing-masing pihak tidak memiliki investasi sama sekali. Kemuadian mereka
membeli komoditas secara tangguh dan menjualnya dengan tunai.
B. MUZARA’AH
1. Definisi dan Dasar Hukum Muzara’ah
a) Definisi
Muzara’ah
Fi’il madhi muzara’ah adalah
zara’a yang artinya mengadakankerja sama. Sedangkan menurut istilah
muzara’ah adalah suatu akad kerja sama antara dua orang, dimana pihak pertama
yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada pihak kedua yaitu penggarap,
untuk diolah sebagai tanah pertanian dan hasilnya dibagi diantara mereka. Dalam
muzara’ah ini Syafi’iyah mensyaratkan bibit tanaman harus dikeluarkan oleh
pemilik tanah. Apabila bibit dikeluarkan oleh penggarap, maka istilahnya bukan
muzara’ah melainkan mukhabaroh.
b) Dasar
Hukum Muzara’ah
Muazarah hukumnya diperselisihkan oleh para fuqaha. Imam Abu Hanifah dan
Zufar, serta Imam As-Syafi’i tidak membolehkannya. Akan tetapi sebagian
Syafi’iyah membolehkannya dengan alasan kebutuhan. Mereka beralasan dengan
hadis Nabi saw:
وَعَن ثَابِتِ بنِ الضَّحَّا كِئ رضي
الله عنه أنَّ رسو لَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم نَّهَى عَنِ الْمُنَا رَعَةِ وَأَمَرَ بِا لْمُؤَاجَرَةِ
Artinya:
“Dari Tsabit bin Adh-Dhahhak ra bahwa sesungguhnya Rasulullah saw melarang
untuk melakukan muzara’ah, dan memerintahkan untuk melakukan muajarah (sewa
menyewa).
Menurut jumhur ulama’, yang terdiri atas Abu Yusuf, Muhammad bin Malik,
Ahmad dan Dawud Azh-Zhahiri, muszara’ah itu hukumnya boleh.
Disamping itu muzara’ah adalah salah
satu bentuk syirkah yaitu kerja sama antara modal (harta) dengan pekerjaan, dan
hal tersebut dibolehkan seperti halnya akad mudharabah, karena dibutuhkan oleh
masyarakat. Dengan adanya kerja sama tersebut maka lahan yang menganggur bisa
bermanfaat, dan orang yang menganggur bisa memperoleh pekerjaan.
2. Rukun dan Syarat-syatar Muzara’ah
a) Rukun
Muzara’ah
Menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul
yaitu berupa pernyataan pemilik tanah. Sedangkan menurut jumhur ulama’
sebagaimana dalam akad-akad yang lain, rukun muzara’ah ada 3 yaitu:
1) ‘Aqid, yaitu pemilik tanah dan
penggarap.
2) Ma’qud ‘alaih (objek akad), yaitu
manfaat tanah dan pekerjaan penggarap.
3) Ijab dan qabul.
Menurut Hanabilah, dalam akad muzara’ah tidak diperlukan
qabul dengan perkataan, melainkan cukup dengan penggarapan tanah secara
langsung. Dengan demikian, qabulnya dengan perbuatan (bil fi’li).
b) Syarat-syarat
Muzara’ah
1) Menurut Abu Yusuf dan Muhammad
Syarat-syarat muzara’ah ini meliputi syarat-syarat yang
berkaitan dengan pelaku (‘Aqid), tanaman, hasil tanaman, tanah yang akan
ditanami, objek akad, alat yang digunakan, serta masa muzara’ah.
2) Menurut Malikiyah
Syarat muzara’ah ada 3, yaitu:
1. Akad tidak
boleh mencakup penyewaan tanah dengan imbalan sesuatu yang dilarang, yaitu
dengan menjadikan tanah sebagai imbalan bibit (benih).
2. Kedua belah
pihak yang berserikat.
3. Bibit yang
dikeluarkan kedua belah pihak harus sama jenisnya.
3) Menurut Syafi’iyah
Ulama’ Syafi’iyah tidak mensyaratkan dalam muzara’ah
persamaan hasil yang diperoleh antara pemilik tanah dengan pengelola
(penggarap). Menurut mereka muzara’ah adalah penggarapan tanah dengan imbalan
hasil yang keluar dari padanya, sedangkan bibit dari pemilik tanah.
4) Menurut Hanabilah
Mereka mensyaratkan seperti halnya Syafi’iyah, yaitu sebagai berikut:
Ø Benih harus
dikeluarkan oleh pemilik tanah.
Ø Bagian
masing-masing pihak harus jelas.
Ø Jenis benih
yang akan ditanamkan harus diketahui.
3. Berakhirnya Akad Muzara’ah
Muzara’ah terkadang berakhir karena terwujudnya maksus
dan tujuan akad, misalnya tanaman telah selesai dipanen. Akan tetapi, terkadang
akad muzara’ah berakhir sebelum terwujudnya tujuan muzara’ah, karena
sebab-sebab berikut:
a) Masa perjanjian muzara’ah telah berakhir.
b) Meninggalnya salah satu pihak, baik meninggalnya itu sebelum
dimulainya penggarapan maupun sesudahnya, baik buahnya sudah bisa dipanen atau
belum.
c) Adanya uzdur atau alasan, baik dari pihak pemilik tanah
maupun dari pihak penggarap.
C. SYIRKAH
a. Pengertian Syirkah dalam Islam
Secara
bahasa, kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua bagian atau lebih
hingga tidak dapat dibedakan lagi antara bagian yang satu dengan
bagian lainnya.Menurut istilah, pengertian syirkah adalah suatu akad yang
dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang telah bersepakat untuk melakukan suatu
usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.
b. Rukun dan Syarat Syirkah
Secara garis besar, terdapat
tiga rukun syirkah sebagai berikut.
1. Dua belah pihak yang berakad
(‘aqidani). Persyaratan orang yang melakukan akad adalah harus memiliki
kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta).
2. Objek akad yang disebut juga ma’qud
‘alaihi mencakup pekerjaan atau modal. Adapun persyaratan pekerjaan atau benda
yang boleh dikelola dalam syirkah harus halal dan diperbolehkan dalam agama dan
pengelolaannya dapat diwakilkan.
3. Akad atau yang disebut juga dengan
istilah shigat. Adapun syarat sah akad harus berupa tasharruf, yaitu harus
adanya aktivitas pengelolaan.
c. Macam-Macam Syirkah
Syirkah terbagi menjadi 4 macam,
yaitu:
1. syirkah `inan,
2. syirkah ‘abdan,
3. syirkah wujuh, dan
4. syirkah mufawadhah.
1) Syirkah ‘Inan
Syirkah
‘inan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing- masing memberi
kontribusi kerja (amal) dan modal (mal).Syirkah dalam Islam hukumnya boleh
berdasarkan dalil sunah dan ijma’sahabat.
Contoh syirkah ‘inan dapat kita cermati sebagai berikut :
Fahmi dan Syahmi adalah sarjana-sarjana teknik informatika. Fahmi dan Syahmi bersepakat menjalankan bisnis jasa perancangan dan pembangunan sistem informasi untuk organisasi-organisasi pemerintahan atau swasta.Masing-masing memberikan kontribusi modal sebesar Rp20 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.Dalam syirkah jenis ini, modalnya disyaratkan harus berupa uang.Sementara barang seperti rumah atau kendaraan yang menjadi fasilitas tidak boleh dijadikan modal, kecuali jika barang tersebut dihitung nilainya pada saat akad.Keuntungan didasarkan pada kesepakatan yang dilakukan sebelumnya dan kerugian ditanggung oleh masing-masing syarik (mitra usaha) berdasarkan porsi modal.Jika masing-masing modalnya 50%, masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%.
Contoh syirkah ‘inan dapat kita cermati sebagai berikut :
Fahmi dan Syahmi adalah sarjana-sarjana teknik informatika. Fahmi dan Syahmi bersepakat menjalankan bisnis jasa perancangan dan pembangunan sistem informasi untuk organisasi-organisasi pemerintahan atau swasta.Masing-masing memberikan kontribusi modal sebesar Rp20 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.Dalam syirkah jenis ini, modalnya disyaratkan harus berupa uang.Sementara barang seperti rumah atau kendaraan yang menjadi fasilitas tidak boleh dijadikan modal, kecuali jika barang tersebut dihitung nilainya pada saat akad.Keuntungan didasarkan pada kesepakatan yang dilakukan sebelumnya dan kerugian ditanggung oleh masing-masing syarik (mitra usaha) berdasarkan porsi modal.Jika masing-masing modalnya 50%, masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%.
2) Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih
yang masing-masing hanya memberikan kontribusi kerja (amal), tanpa memberikan
kontribusi modal (amal).Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran
(seperti penulis naskah) maupun kerja fisik (seperti tukang batu).Syirkah ini
juga disebut syirkah ‘amal.
Contoh Syirkah‘abdan :
Udin dan Imam sama-sama nelayan dan bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka juga sepakat apabila memperoleh ikan akan dijual dan hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: Udin mendapatkan sebesar 60% dan Imam sebesar 40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian antara keduanya, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri atas beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwapekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan yang halal dan tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya berburu anjing. Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan yang telah diatur sebelumnya, porsinya boleh sama atau tidak sama diantara syarik (mitra usaha).
Contoh Syirkah‘abdan :
Udin dan Imam sama-sama nelayan dan bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka juga sepakat apabila memperoleh ikan akan dijual dan hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: Udin mendapatkan sebesar 60% dan Imam sebesar 40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian antara keduanya, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri atas beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwapekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan yang halal dan tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya berburu anjing. Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan yang telah diatur sebelumnya, porsinya boleh sama atau tidak sama diantara syarik (mitra usaha).
3) Syirkah Wujuh
Syirkah wujuh merupakan kerja sama karena didasarkan pada
kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat.
Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak yang sama-sama memberikan
kontribusi kerja (amal) dengan adanya pihak ketiga yang memberikan konstribusi
modal (mal).
Contoh Syirkahwujuh :
Andri dan Rangga adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu Andri dan Rangga bersyirkah wujuh dengan cara membeli barang dari seorang pedagang secara kredit. Andri dan Rangga bersepakat bahwa masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli.Lalu, keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua.Sementara harga pokoknya dikembalikan kepada pedagang.Syirkah wujuh ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan.
Contoh Syirkahwujuh :
Andri dan Rangga adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu Andri dan Rangga bersyirkah wujuh dengan cara membeli barang dari seorang pedagang secara kredit. Andri dan Rangga bersepakat bahwa masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli.Lalu, keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua.Sementara harga pokoknya dikembalikan kepada pedagang.Syirkah wujuh ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan.
4) Syirkah Mufawadhah
Syirkah mufawadhah merupakan syirkah antara dua pihak atau
lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah yang telah dijelaskan di
atas.Syirkah mufawadhah dalam pengertian ini boleh dipraktikkan.Sebab setiap
jenis syirkah yang sah berarti boleh digabungkan menjadi satu.Keuntungan yang
diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung
sesuai dengan jenis syirkahnya, yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi
modal jika berupa syirkah ‘inan, atau ditanggung pemodal saja jika berupa
mufawadhah, atau ditanggung oleh mitra-mitra usaha berdasarkan persentase
barang dagangan yang dimiliki jika berupa syirkah wujuh.
Contoh Syirkah mufawadhah :
Adha adalah pemodal, berkontribusi modal kepada Fahmi dan Syahmi. Kemudian, Fahmi dan Syahmi juga sepakat untuk berkontribusi modal untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada Fahmi dan Syahmi.Dalam hal ini, pada awalnya yang terjadi adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika Fahmi dan Syahmi sepakat masing-masing bersyirkah dengan memberikan kontribusi kerja saja.Namun, ketika Adha memberikan modal kepada Fahmi dan Syahmi, berarti di antara mereka bertiga terwujud mudharabah.Di sini Adha sebagai pemodal, sedangkan Fahmi dan Syahmi sebagai pengelola.Ketika Fahmi dan Syahmi sepakat bahwa masing-masing memberikan kontribusi modal, di samping kontribusi kerja, berarti terwujud syirkah ‘inan di antara Fahmi dan Syahmi.Ketika Fahmi dan Syahmi membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujuh antara Fahmi dan Syahmi.Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah dan disebut syirkah mufawadhah.
Contoh Syirkah mufawadhah :
Adha adalah pemodal, berkontribusi modal kepada Fahmi dan Syahmi. Kemudian, Fahmi dan Syahmi juga sepakat untuk berkontribusi modal untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada Fahmi dan Syahmi.Dalam hal ini, pada awalnya yang terjadi adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika Fahmi dan Syahmi sepakat masing-masing bersyirkah dengan memberikan kontribusi kerja saja.Namun, ketika Adha memberikan modal kepada Fahmi dan Syahmi, berarti di antara mereka bertiga terwujud mudharabah.Di sini Adha sebagai pemodal, sedangkan Fahmi dan Syahmi sebagai pengelola.Ketika Fahmi dan Syahmi sepakat bahwa masing-masing memberikan kontribusi modal, di samping kontribusi kerja, berarti terwujud syirkah ‘inan di antara Fahmi dan Syahmi.Ketika Fahmi dan Syahmi membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujuh antara Fahmi dan Syahmi.Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah dan disebut syirkah mufawadhah.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara
dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan
sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk
ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik
modal dan keahlian dari pengelola.
2. Murabahah
Akad seluruhnya halal asalkan memenuhi hukum
dan ketentuan syaria'ah.untuk biaya yang terkait dengan aset Murabahah boleh
diperhitungkan sebagai beban asalkan itu adalah biaya langsung-menurut Jumhur
Ulama-atau biaya tidak langsung yang memberi nilai tambah pada asset murabahah
DAFTAR
PUSTAKA
Sri Nurhayati Wasilah.Akuntansi Syari'ah di
Indonesia hal 176
Wiroso,SE,MBA ,Jual Beli Murabahah hal 37-38
Yayasan Pendidikan Pengembangan Perbankan dan
LKS hal 42
Yayasan Pendidikan Pengembangan Perbankan dan
LKS hal 42
Yayasan Pendidikan Pengembangan Perbankan dan
LKS 40
Sri Nurhayati Wasilah, Akuntasi Syari'ah di
Indonesia hal 164
Ah.Azharudin Latifh MAg.Fiqih Muamalat hal
119-120
Wiroso,SE,MBA Jual Beli Murabahah hal 14
Yayasan Pendidikan Pengembangan dan Perbankan di LKS hal 43-44
Sri Nurhayati Wasilah Akuntansi Syari'ah di
Indonesia hal 176
Tidak ada komentar:
Posting Komentar